Minggu, 4 Mei 2025

Agung Sedayu Group Belum Terima Dokumen Resmi Pembatalan SHGB, Pengacara Belum Cek Pejabat Tandatangan

Senin, 27 Januari 2025 - 21:3

Potret Properti Garapan Agung Sedayu Group (ASG)/Foto: Dok. Agung Sedayu Group

MEGAKALTIM.COM - Dalam sebuah pernyataan yang memunculkan banyak tanda tanya, Agung Sedayu Group menyatakan belum menerima dokumen resmi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait pembatalan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di kawasan Pagar Laut, Tangerang, Banten.

Kuasa Hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, mengungkapkan kepada KompasTV pada Senin (27/1/2025) bahwa hingga saat ini pihaknya belum memperoleh kejelasan terkait dokumen maupun rincian SHGB yang dibatalkan.

"Intinya, kami belum menerima dokumen mana SHGB yang dibatalkan," ujar Muannas dengan tegas.

Ia menjelaskan bahwa saat ini pihaknya masih terus memantau informasi dari media sebagai sumber utama perkembangan kasus. Namun, langkah hukum yang akan ditempuh masih dalam tahap pertimbangan.

"Soal upaya, sejauh ini kami masih mengikuti perkembangan dari media," jelasnya lebih lanjut.

Ketika disinggung mengenai pejabat yang menandatangani sertifikat HGB milik Agung Sedayu Group, Muannas menyebut bahwa pihaknya belum melakukan pengecekan mendalam.

"Kalau soal pejabat yang tanda tangan, saya belum cek," imbuhnya.

Diberitakan sebelumnya, ASG mengonfirmasi bahwa anak perusahaannya, PT Cahaya Intan Sentosa (CIS) dan PT Intan Agung Makmur (IAM), memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di kawasan pagar laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.

Menurut kuasa hukum ASG, Muannas Alaidid, SHGB tersebut diperoleh melalui proses yang sesuai prosedur, dengan membeli lahan dari masyarakat pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM).

Muannas Alaidid juga menegaskan bahwa kepemilikan SHGB ini hanya mencakup area di Desa Kohod dan tidak meliputi seluruh panjang pagar laut yang membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Tangerang.

SHGB tersebut diterbitkan mengikuti prosedur yang benar. Kami membeli dari masyarakat dengan Sertifikat Hak Milik (SHM),” ujar Muannas.

Muannas menambahkan, setelah nama resmi kepemilikan beralih, pihaknya telah membayar pajak dan memperoleh Surat Keputusan (SK) Izin Lokasi/PKKPR.

Ia menegaskan bahwa pagar laut bersertifikat HGB yang dimiliki anak perusahaan Agung Sedayu Group hanya terletak di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.

Pagar laut itu bukan milik PANI, dan dari panjang 30 km pagar laut, SHGB yang dimiliki anak perusahaan PIK PANI dan PIK Non PANI hanya ada di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji. Bisa dipastikan di tempat lain tidak ada,” tegasnya.

Muannas juga menanggapi isu yang beredar bahwa seluruh pagar laut tersebut dimiliki oleh Agung Sedayu Group, dengan menegaskan bahwa hal itu tidak benar.

“Saya perlu meluruskan agar tidak terjadi opini liar. Pagar laut tersebut melewati enam kecamatan, namun SHGB milik anak perusahaan kami hanya ada di satu kecamatan, Desa Kohod, bukan sepanjang 30 km,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, menyatakan bahwa penerbitan SHGB dan SHM untuk pagar laut di pesisir pantura Kabupaten Tangerang dinilai cacat prosedural dan material sehingga batal demi hukum.

“Setelah dilakukan peninjauan, kami temukan bahwa batas di luar garis pantai tidak bisa dijadikan properti pribadi sehingga sertifikat tersebut tidak sah,” jelas Nusron di Tangerang, Rabu (22/1/2025).

Menurutnya, hasil verifikasi dan pemeriksaan terhadap batas daratan atau garis pantai yang tercantum dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa sertifikat tersebut otomatis dibatalkan dan dicabut statusnya.

Nusron menjelaskan bahwa berdasarkan PP No. 18 Tahun 2021, Kementerian ATR/BPN berhak mencabut atau membatalkan sertifikat yang belum berusia lima tahun tanpa proses pengadilan.

“Menurut PP Nomor 18 Tahun 2021, jika sertifikat tersebut belum berusia lima tahun, Kementerian ATR/BPN berhak untuk mencabut atau membatalkannya tanpa perlu melalui perintah pengadilan,” jelasnya.

Nusron menerangkan bahwa dari sebanyak 266 sertifikat SHGB dan SHM yang tercatat di bawah laut, hasil pencocokan dengan peta menunjukkan sertifikat tersebut berada di luar garis pantai.

Sebagai tindak lanjut, pihaknya kini memanggil dan memeriksa petugas juru ukur maupun petugas yang menandatangani atau mengesahkan sertifikat tersebut untuk menegakkan hukum yang berlaku.

“Hari ini, kami telah memanggil petugas tersebut untuk diperiksa oleh aparatur pengawas internal pemerintah terkait pelanggaran kode etik,” ujarnya pada Jumat (24/1/2025) lalu. (tam)

Populer
recommended