MEGAKALTIM.COM - Pemerintah dan DPR RI segera membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) setelah Presiden Prabowo Subianto menandatangani Surat Presiden (Surpres) terkait pembahasan revisi UU tersebut.
RUU ini mengatur secara khusus mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) dalam Bab IV.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa pembahasan RUU KUHAP akan dimulai pada masa sidang berikutnya setelah DPR memasuki masa reses. Ia menargetkan pembahasan RUU ini rampung dalam waktu singkat karena jumlah pasalnya yang tidak terlalu banyak.
"Jadi paling lama dua kali masa sidang. Kalau bisa satu kali masa sidang besok sudah selesai, kita sudah punya KUHAP yang baru," kata Habiburokhman kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3).
Revisi UU KUHAP dinilai penting untuk menyesuaikan regulasi dengan perkembangan zaman sejak diundangkan pada 1981 serta menyelaraskan penerapannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mulai berlaku pada Januari 2026.
RUU KUHAP akan mengusung nilai restoratif, restitutif, dan rehabilitatif dalam penyelesaian perkara hukum. Salah satu poin utama adalah adanya satu bab khusus yang mengatur mekanisme keadilan restoratif sejak tahap penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 77 Bab IV yang merinci tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Terdapat 10 jenis tindak pidana yang dikecualikan, di antaranya:
1. Tindak pidana terhadap keamanan negara, termasuk penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, kepala negara sahabat, serta ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Tindak pidana terorisme dan korupsi.
3. Tindak pidana tanpa korban.
4. Tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara atau lebih, kecuali karena kealpaan.
5. Tindak pidana terhadap nyawa orang.
6. Tindak pidana dengan ancaman pidana khusus.
7. Tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat.
8. Tindak pidana narkotika, kecuali yang berstatus sebagai pengguna.
Sementara itu, penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice dapat dilakukan berdasarkan permohonan dari pelaku tindak pidana, tersangka, terdakwa, atau keluarganya, serta korban atau keluarganya.
Alternatif lain adalah melalui penawaran yang diajukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 76 mengenai penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Dengan adanya pengaturan ini, DPR RI menegaskan bahwa revisi KUHAP bertujuan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih modern dan berorientasi pada pemulihan keadilan, sekaligus tetap mempertahankan ketegasan terhadap tindak pidana berat yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. (tam)