Senin, 5 Mei 2025

Kholid, Nelayan Tangerang, Kritisi Pagar Laut dan Singgung Dugaan Praktik Ilegal yang Merugikan Nelayan

Jumat, 24 Januari 2025 - 20:36

Kholid, Nelayan Terdampak Pagar Laut asal Serang Utara, Banten (Foto: Tangkapan Layar Youtube "Indonesia Lawyers Club")

MEGAKALTIM.COM - Kholid, seorang nelayan asal Desa Kronjo, Banten, menjadi sorotan publik karena dengan tegas menolak pembangunan pagar laut di pesisir Pantai Utara Tangerang.

Pagar laut yang membentang sepanjang 30 kilometer dari Desa Muncung hingga Pakuhaji, Tangerang, Banten, dianggap merugikan para nelayan setempat.

Selain itu, Kholid juga menyoroti dampak yang signifikan akibat keberadaan pagar laut yang dapat membuat nelayan tidak bebas.

Dalam sebuah diskusi di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas yang tayang pada Jumat (17/1/2025), Kholid menilai bahwa proyek tersebut tidak memperhatikan kepentingan nelayan dan berpotensi merugikan mata pencaharian mereka.

Dilansir dari Fasenews.id, Khalid mengatakan pagar laut ini dapat menghambat akses nelayan ke area penangkapan ikan, sehingga mereka harus menempuh jarak lebih jauh untuk melaut.

Kholid juga menceritakan pengalamannya menerima tekanan dari beberapa pihak yang mempertanyakan mengapa ia yang berasal dari Serang harus mengurusi masalah di Tangerang.

“Kami tidak setuju. Otomatis kan banyak kerugikan buat saya. Nah, kemarin ada beberapa penelepon gelap ke saya, ‘eh kholid, kamu itu bukan orang Tangerang’ katanya, ‘kamu itu orang Serang dan kamu orang Pontang, kenapa harus urusin dapur Tangerang?’” ujar Kholid menirukan ucapan pihak yang menghubunginya.

Namun, Kholid menjelaskan bahwa pandangannya sebagai nelayan tidak boleh parsial, alias terbatas pada daerah asal.

Kholid mengutip sebuah buku berjudul Logika Penjajah karya Yai Midi, yang menurutnya sejalan dengan pandangannya tentang ketidakadilan yang dirasakan oleh para nelayan.

“Saya sempat baca buku, judulnya Logika Penjajah, karangan Yai Midi. Yai Midi itu adalah orang tua yang di Banten. Nah, salah satu dalam buku Logika Penjajah itu persis apa yang dikatakan penelepon tadi ke saya,” ucapnya.

“Ketika Tangerang menangis, ya, semua orang harus menangis. Artinya, ketika saya ngomong bahwa ini artinya dampak yang sangat berbahaya bagi nelayan dan petani. Justru ketika saya melihat kejadian-kejadian di laut, pemagaran laut, kemudian tanah dan kali diuruk,” ungkap Kholid.

Kholid turut mengungkapkan bahwa logika penjajah yang menganggapnya tidak boleh mencampuri urusan di luar daerahnya justru mencerminkan pola pikir sempit yang harus dilawan.

“Padahal, menurut saya sebagai nelayan harusnya mempunyai pandangan tidak boleh parsial. Ciri-ciri penjajah itu yang punya pandangan parsial, sampai tingkatannya kita nggak boleh nolongin tetangga kita yang kelaparan atau sedang dijajah,” terang Kholid.

Kholid juga menyoroti adanya dugaan praktik jual beli lahan yang terkait dengan proyek pagar laut tersebut.

“Para nelayan itu menjerit karena pagar-pagar ini kan, dikotak-kotakan. Buat budidaya rumput laut bukan, buat kerang ijo juga bukan, malah justru lebih pasnya itu ketika diplot. Oh ini adalah sketsa, tambak-tambak gitu kan, yang saya ngerinya ini ada jual beli hitam,” ucap Kholid.

“Dugaan saya di situ, malah logikanya masuknya di situ. Kemudian, disiapkanlah dikirim-kirim, dibeli, dioper nama lagi di akta jual beli, lalu dibuat SHM (Surat Hak Milik) atas nama yang lain,” ungkapnya lebih lanjut.

Menurutnya, pembatasan ruang laut justru membuka peluang bagi transaksi ilegal yang dapat merugikan nelayan dan masyarakat kecil.

Dalam acara ILC tersebut, Kholid menambahkan bahwa pagar laut yang dipasang akan memperburuk kondisi nelayan.

“Saya ini seperti dikelola oleh orang-orang yang karya berpikirnya cacat. Kenapa cacat? Lingkaran yang besar kok dipaksa masuk ke lingkaran yang kecil. Contoh, kedaulatan negara harus dicaplok pada korporasi. Nah, saya nggak mau dikelola seperti ini,” ucap Kholid tegas.

“Baik saya melawan, daripada hidup saya, sebagai petani nelayan dikelola oleh korporasi karena kalau saya ini sebagai rakyat dikelola oleh korporasi-korporasi, sampai kiamat anak cucu saya pasti miskin karena saya sebagai objek yang dikelola dan dia mengelola,” lanjutnya.

“Kenapa? Karena yang namanya korporasi pasti mikirnya untung rugi. Lah, kalau negara, pasti bicara tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cuma di sini kami nggak merasakan itu,” ungkap Kholid.

Selain membatasi akses, pagar-pagar tersebut juga mengganggu jalur pelayaran nelayan, menyebabkan kerusakan pada perahu, serta meningkatkan biaya operasional mereka.

“Ketika laut dipagar kan jadi susah, ruang lingkupnya jadi kecil. Yakin itu bukan saya doang yang merasakan. Kalau ada nelayan yang tidak merasa terganggu itu kayaknya harus dipertanyakan,” kata Kholid.

“Kesulitannya, nomor satu itu jarak tempuh, yang harusnya habis 2-3 liter jadi dua kali lipat. Kedua, kadang ada patahan-patahan bambu itu kalau nggak terlihat akan nabrak dinding perahu. Sementara dinding perahu kita dari kayu bisa bolong atau kena kipas bisa patah,” tuturnya.

“Ketiganya, ketika ada musim gelombang besar, kebetulan saya nelayan tradisional semacam nelayan rajungan. Nah, ketika saya memilih lokasi yang banyak ikan, di situ juga ada pagar, yang akhirnya saya harus menghindari itu. Kalau dipaksakan nanti pemasukan dan pengeluarannya tidak seimbang, mending saya cari yang lain,” ujar Kholid menjelaskan.

Kholid mengungkapkan dalam pembicaraannya bahwa laut seharusnya menjadi pemersatu bangsa, bukan malah dipisahkan dengan pagar yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Kholid pun berharap suara para nelayan didengar dan proyek tersebut dapat dievaluasi kembali demi kesejahteraan rakyat.

“Indonesia itu bukan dipisahkan oleh laut, tapi disatukan oleh laut. Kalau ada yang bilang ada yang tidak terganggu dengan pagar itu, tapi alangkah baiknya tidak ada bangunan-bangunan itu,” jelas Kholid. (apr/daf)

Populer
recommended